Kebenaran
Haii semua kali ini saya mau posting lagi nih
tengtang teori kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengarkan
ungkapan, “meskipun kebenaran itu mahal harganya saya akan tetap menegakkannya”
atau “Saya rela mati untuk membela kebenaran”. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa
kebenaran itu sangatlah penting dan berharga bagi kita.
Apakah Kebenaran itu?
Untuk menilai sifat atau kualitas dari suatu
proposisi (pernyataan) atau makna/isi pernyataan digunakan istilah benar –
salah. Pengetahuan bisa dinilai benar atau salah, karena pengetahuan pada
dasarnya merupakan gabungan dan perpaduan dari sistim pernyataan. Konsep tidak
dapat dinilai benar atau salah, betul atau keliru. Konsep hanya bisa dinilai jelas dan terpilah atau kabur,
memadai atau tidak memadai. Persepsi tidak dapat disebut benar atau salah. Yang
bisa disebut benar atau salah adalah isi pernyataan tentang apa yang
dipersepsikannya. Yang bisa benar atau salah adalah orang yang
mepersepsikannya.
Kebenaran sebagai sifat pengetahuan disebut
kebenaran epistemologis. Lawan dari kebenaran adalah salah. Secara umum
kebenaran biasanya dimengerti sebagai kesesuaian antara apa yang dipirkan dan
atau dinyatakan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Suatu pengetahuan atau
pernyataan di sebut benar jika sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian,
kenyataan menjadi suatu ukuran penentu penilaian. Kata Yunani untuk kebenaran
adalah alètheia. Pengertian Plato tentang kebenaran secara etimologi bahwa alètheia
berarti “ketaktersembunyiaan adanya” atau “ketersingkapan adanya”.
Menurut Plato
bahwa selama kita terikat pada “yang ada” dan tidak masuk pada “adanya dari
yang ada”, kita belum berjumpa dengan kebenaran, karena “adanya” itu masih
tersembunyi. Baru ketika selubung yang menutupi itu “semua yang ada” itu
disingkapkan sehingga terlihat oleh mata batin kita, maka terbukalah “adanya”
atau bertemulah kita dengan kebenaran.
Kebenaran dalam konsep Plato dimengerti sebagai
terletak pada obyek yang diketahui, atau pada apa yang dikejar untuk diketahui.
Menurut Plato bahwa kebenaran sebagai ketidaktersembunyiaan adanya itu tidak
dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles dalam memahami kebenaran lebih memusatkan perhatian
pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subyek penahu ketika dirinya
menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau negatif. Ada tidaknya
kebenaran dalam putusan yang bersangkutan bersifat afirmatif (menegaskan atau
menguatkan) (S itu P) atau negatif (S itu bukan P) itu tergantung pada apakah
putusan yang bersangkutan sebagai pengetahuan dalam diri subyek penahu itu
sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam hal ini kebenaran dimengerti
sebagai kesesuaian antara sunyek si pehanu dengan obyek yang diketahui.
Menurut kaum Positivisme
Logis bahwa kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran faktual dan
kebenaran nalar.
Ø Kebenaran faktual
adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual di dunia nyata sebagaimana
dialami manusia (yang biasanya diukur dengan dapat atau tidaknya secara
inderawi)
Ø Kebenaran
nalar adalah kebenaran yang bersifat tautologis
(pengulangan gagasan) dan tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia,
tetapi dapat menjadi sarana yang berdaya guna untuk memperoleh pengatahuan yang
benar tentang dunia ini
Menurut Thomas
Aquinas, maka kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran Ontologis
(Veritas Ontologica) dan kebenaran Logis (Veritas Logica).
Kedudukan kebenaran pengetahuan dalam pandangan
Platonis lebih diletakkan dalam obyek atau kenyataan yang diketahui. sedangkan
Aristotelian dalam subyek yang mengetahui. Kedudukan kebenaran dalam tradisi
Aristotelian lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataan hidup
sehari-hari pernyataan-pernyataan yang dianggap benar , walaupun memang menjadi
tempat kedudukan kebenaran, namun hal itu hanya terjadi apabila kenyataan yang
sesungguhnya tersingkap di dalamnya.
Kaum
Eksistensial menyatakan bahwa kebenaran (kebenaran
eksistensial) merupakan apa yang secara pribadi berharga bagi subyek konkrit
yang bersangkutan dan pantas untuk dipegang teguh dengan penuh kesetiaan. Kalau
kebenaran ilmiah bersifat eksternal terhadap subyek, maka kebenaran
eksistensial bersifat internal terhadap subyek. Dalam arti si subyek secara
langsung terlibat dalam perkara yang dinilai atau dipertaruhkan.
Kebenaran pada akhirnya berada dalam relasi antara
subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Bagi manusia sebagai mahkluk
yang terbatas, kebenaran sebagai ketersingkapnya kenyataan sebagaimana adanya.
Dan, itu ternyata tidak dapat disaksikan secara sekaligus dan menyeluruh.
Kekeliruan
perlu dibedakan dengan kesahihan. Pada
umunya kekeliruan berati menerima sebagai benar apa yang dinyatakan salah atau
menyangkal apa yang senyatanya benar. Kekeliruan adalah segala sesuatu yang
menyangkut tindakan kognitif subyek penahu, sedangkan kesalahan adalah hasil
dari tindakan tersebut.
Kekeliruan
muncul akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukti yang tepat, menganggap
bukti sudah mencukupi padahal belum atau sebaliknya menganggap bukti belum
cukup padahal sudah. Kekeliruan dapat dikarenakan gegabah dalam menegaskan
putusan tentang suatu perkara.
Faktor yang dapat memungkinkan terjadinya kekeliruan
misalnya kompleksitas atau kekaburan perkara yang menjadi persoalan. Sedangkan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan misalnya:
1.
Sikap
terburu-buru dan kurang perhatian dalam salah satu
tahap atau keseluruhan proses kegiatan
mengetahui
2.
sikap
takut salah yang keterlaluan atau sebaliknya sikap terlalu gegabah
dalam melangkah. Sikap yang pertama menyebabkan orang menganggap belum cukup
bukti untuk dapat menerima kebenaran padahal sebenarnya sudah cukup, sedangkan
sikap yang kedua terlalu cepat merasa cukup meneggaskan benar atau salah,
padahal belum cukup bukti.
3.
Kerancuan
atau kebingungan akibat emosi, frustasi, perasaan yang entah mengganggu
konsentrasi atau membuat kurang terbuka
terhadap bukti-bukti yang tersedia.
4.
Prasangka
dan bias-bias, baik individu maupun sosial.
5. Keliru dalam penalaran atau tidak mematuhi
aturan-aturan logia
(sumber: Google Image, Mikha Agus Widiyanto)
No comments:
Post a Comment