Golden Ticket

Golden Ticket

Wednesday, September 24, 2014

Pertemuan III Sesi 2

Kebenaran
Haii semua kali ini saya mau posting lagi nih tengtang teori kebenaran. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengarkan ungkapan, “meskipun kebenaran itu mahal harganya saya akan tetap menegakkannya” atau “Saya rela mati untuk membela kebenaran”.  Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa kebenaran itu sangatlah penting dan berharga bagi kita.

Apakah Kebenaran itu?
Untuk menilai sifat atau kualitas dari suatu proposisi (pernyataan) atau makna/isi pernyataan digunakan istilah benar – salah. Pengetahuan bisa dinilai benar atau salah, karena pengetahuan pada dasarnya merupakan gabungan dan perpaduan dari sistim pernyataan. Konsep tidak dapat dinilai benar atau salah, betul atau keliru. Konsep hanya bisa  dinilai jelas dan terpilah atau kabur, memadai atau tidak memadai. Persepsi tidak dapat disebut benar atau salah. Yang bisa disebut benar atau salah adalah isi pernyataan tentang apa yang dipersepsikannya. Yang bisa benar atau salah adalah orang yang mepersepsikannya.



Pengertian Kebenaran
Kebenaran sebagai sifat pengetahuan disebut kebenaran epistemologis. Lawan dari kebenaran adalah salah. Secara umum kebenaran biasanya dimengerti sebagai kesesuaian antara apa yang dipirkan dan atau dinyatakan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Suatu pengetahuan atau pernyataan di sebut benar jika sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, kenyataan menjadi suatu ukuran penentu penilaian. Kata Yunani untuk kebenaran adalah alètheia. Pengertian Plato tentang kebenaran secara etimologi bahwa alètheia berarti “ketaktersembunyiaan adanya” atau “ketersingkapan adanya”.
Menurut Plato bahwa selama kita terikat pada “yang ada” dan tidak masuk pada “adanya dari yang ada”, kita belum berjumpa dengan kebenaran, karena “adanya” itu masih tersembunyi. Baru ketika selubung yang menutupi itu “semua yang ada” itu disingkapkan sehingga terlihat oleh mata batin kita, maka terbukalah “adanya” atau bertemulah kita dengan kebenaran.
Kebenaran dalam konsep Plato dimengerti sebagai terletak pada obyek yang diketahui, atau pada apa yang dikejar untuk diketahui. Menurut Plato bahwa kebenaran sebagai ketidaktersembunyiaan adanya itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles dalam memahami kebenaran lebih memusatkan perhatian pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subyek penahu ketika dirinya menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau negatif. Ada tidaknya kebenaran dalam putusan yang bersangkutan bersifat afirmatif (menegaskan atau menguatkan) (S itu P) atau negatif (S itu bukan P) itu tergantung pada apakah putusan yang bersangkutan sebagai pengetahuan dalam diri subyek penahu itu sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam hal ini kebenaran dimengerti sebagai kesesuaian antara sunyek si pehanu dengan obyek yang diketahui.
Menurut kaum Positivisme Logis bahwa kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran faktual dan kebenaran nalar.
Ø  Kebenaran faktual adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual di dunia nyata sebagaimana dialami manusia (yang biasanya diukur dengan dapat atau tidaknya secara inderawi)
Ø  Kebenaran nalar adalah kebenaran yang bersifat tautologis (pengulangan gagasan) dan tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia, tetapi dapat menjadi sarana yang berdaya guna untuk memperoleh pengatahuan yang benar tentang dunia ini
Menurut Thomas Aquinas, maka kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran Ontologis (Veritas Ontologica) dan kebenaran Logis (Veritas Logica).



Kedudukan Kebenaran
Kedudukan kebenaran pengetahuan dalam pandangan Platonis lebih diletakkan dalam obyek atau kenyataan yang diketahui. sedangkan Aristotelian dalam subyek yang mengetahui. Kedudukan kebenaran dalam tradisi Aristotelian lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataan hidup sehari-hari pernyataan-pernyataan yang dianggap benar , walaupun memang menjadi tempat kedudukan kebenaran, namun hal itu hanya terjadi apabila kenyataan yang sesungguhnya tersingkap di dalamnya.
Kaum Eksistensial menyatakan bahwa kebenaran (kebenaran eksistensial) merupakan apa yang secara pribadi berharga bagi subyek konkrit yang bersangkutan dan pantas untuk dipegang teguh dengan penuh kesetiaan. Kalau kebenaran ilmiah bersifat eksternal terhadap subyek, maka kebenaran eksistensial bersifat internal terhadap subyek. Dalam arti si subyek secara langsung terlibat dalam perkara yang dinilai atau dipertaruhkan.
Kebenaran pada akhirnya berada dalam relasi antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Bagi manusia sebagai mahkluk yang terbatas, kebenaran sebagai ketersingkapnya kenyataan sebagaimana adanya. Dan, itu ternyata tidak dapat disaksikan secara sekaligus dan menyeluruh.



Kesahihan dan Kekeliruan
Kekeliruan perlu dibedakan dengan kesahihan. Pada umunya kekeliruan berati menerima sebagai benar apa yang dinyatakan salah atau menyangkal apa yang senyatanya benar. Kekeliruan adalah segala sesuatu yang menyangkut tindakan kognitif subyek penahu, sedangkan kesalahan adalah hasil dari tindakan tersebut.
 Kekeliruan muncul akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukti yang tepat, menganggap bukti sudah mencukupi padahal belum atau sebaliknya menganggap bukti belum cukup padahal sudah. Kekeliruan dapat dikarenakan gegabah dalam menegaskan putusan tentang suatu perkara.
Faktor yang dapat memungkinkan terjadinya kekeliruan misalnya kompleksitas atau kekaburan perkara yang menjadi persoalan. Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan misalnya:
1.    Sikap terburu-buru dan kurang perhatian dalam salah satu tahap atau keseluruhan proses  kegiatan mengetahui
2.    sikap takut salah yang keterlaluan atau sebaliknya sikap terlalu gegabah dalam melangkah. Sikap yang pertama menyebabkan orang menganggap belum cukup bukti untuk dapat menerima kebenaran padahal sebenarnya sudah cukup, sedangkan sikap yang kedua terlalu cepat merasa cukup meneggaskan benar atau salah, padahal belum cukup bukti.
3.    Kerancuan atau kebingungan akibat emosi, frustasi, perasaan yang entah mengganggu konsentrasi  atau membuat kurang terbuka terhadap bukti-bukti yang tersedia.
4.    Prasangka dan bias-bias, baik individu maupun sosial.
            5.  Keliru dalam penalaran atau tidak mematuhi aturan-aturan logia


(sumber: Google Image, Mikha Agus Widiyanto)

No comments:

Post a Comment